The Opened Door
Akhirny~ setelah sekian lama absen gak buat cerita lagi, sekarang lagi mood banget! tapi sebenernya keadaan yang bikin gak bisa buat sih haha.. maklum udah semester 4 mana bulan depan mau UAS lagi. Oh ya, cerita ini terinspirasi dari lagunya "Kabe don Song Vol 2"! lagunya bagus banget! sasuga Soman suaranya something! Ya sudahlah selagi sempat, silahkan dibaca~ jika ada komentar tentang ceritanya baik kritik atau saran silahkan dikomen. terima kasih sudah dibaca :)
“Ayolah…”
***
Mana Side
“Saa hairinasai…”
.
.
.
.
.
“Haite mo ii no ka na?”
Melihat tangannya yang terjulur dari balik pintu itu, aku
ragu. Apa benar aku boleh masuk kesana? Masih ragu, aku pun mengintip sedikit
apa yang ada di dalamnya. Tapi yang terlihat hanya senyumannya serta sosoknya
yang lebih tinggi dariku. Dia sering mengatakan padaku kalau pintu ini tidak
pernah ia buka pada siapapun, tempat yang spesial katanya. Lalu kenapa pintu
itu sekarang terbuka dan dia menyuruhku masuk?
….
“Kalau kamu melihatku dengan mata seperti itu, kamu curang.”
Aku bingung dengan perkataannya, memangnya ada apa dengan
mataku? Padahal sejak tadi aku hanya mendengarkan ceritanya dengan baik dan
serius. Dia yang merasakan kebingunganku hanya tersenyum kecil dan
mengacak-acak rambutku. Dia pikir aku anak kecil?
“Apa yang lucu?” Tanyaku sambil cemberut.
“Kamu,” katanya. Tangannya yang sejak tadi mengacak-acak
rambutku berpindah ke pipiku dan mencubitnya. Lagi, dia lagi-lagi menganggapku
anak kecil.
“Aduh, apaan sih? Aku ini bukan anak kecil tau!” marah
padanya, aku menjauh dan membalikkan badanku darinya.
Aku mendengar langkahnya mendekatiku,
“Kalau kamu kuanggap anak kecil aku tidak akan melakukan ini
padamu” tiba-tiba ia memelukku dari belakang dengan erat.
“Jika kamu pikir dengan itu saja aku bisa berhenti marah
maka kamu salah!” argh, mukaku terasa panas. Pasti dia tahu kalau mukaku
memerah. Aku bergerak-gerak berusaha menjauh darinya.
“Hmm… kalau begitu bagaimana dengan strawberry parfait di
café yang biasanya kita datangi? Apa itu masih tetap membuatmu marah? Tidak
mau?” rayunya.
Tergiur dengan tawarannya, aku berbalik arah menghadapnya.
“Dengan blueberry cheesecake juga tidak?”
“Anything you wish for, my princess…”
Sepanjang perjalanan pulang, Aku tersenyum lebar dengan tanpa
hentinya kugumamkan lagu favoritku sambil menggenggam tangannya.
….
“Anu… Souma-san?
Bisakah kau berhenti menyentuh bibirku?”
Dari sejak tadi Souma
menyentuh bibirku padahal katanya tadi ada butiran nasi disudut bibirku. Kami
berdua sedang makan bersama di rumahku karena aku baru saja menemukan resep
baru untuk makanan favorit Souma yaitu Kare. Hari ini adalah hari libur yang
jarang sekali didapatkan oleh Souma (Oh ya Souma bekerja sebagai pengacara). Setidaknya
hari ini aku ingin memanjakannya dengan makanan favoritnya tapi sepertinya dia
punya rencana lain…
“Tidak apa-apakan? Aku
hanya menyentuhnya saja tidak melakukan apa-apa.” Dia berusaha membela diri ya?
“Tapi kalau seperti
ini aku tidak bisa makan…” kataku padanya sambil memposisikan kursiku dengan
nyaman dan jika bisa menjauh sedikit dari laki-laki disebelahku ini. Namun
kemudian Souma dengan paksa menarik kembali kursiku ke tempat semula. Cih.
“Nanti saja
dilanjutkan lagi,”
“Tapi-“
“Ssh… jangan bicara
lagi. Ah, bibirmu lembut sekali ya. Kamu pakai apa?”
Yah dipotong
bicaranya, kenapa tiba-tiba bicara aneh sih orang ini? Kecapekan ya?
“Tentu saja, aku kan
menggunakan lip balm.” Balasku dengan nada sedikit marah.
“Hmm… baunya…” Souma
mendekati bibirku. Secara refleks aku mundur namun tertahan oleh tangan Souma
yang entah sejak kapan ada dipunggungku.
“H-hei!”
“Strawberry ya?” dia
mengendusnya. Astaga…
“Coba ucapkan namaku,”
sahutnya sambil tetap mengelus bibirku.
“Ka-kamu ini kenapa
sih?” aku semakin kebingungan.
“Ayolah…”
Ah!!! Bagaimana ini??
Souma terus memandangiku berharap aku akan melakukan apa yang diminta olehnya.
Kalu sudah keras kepala seperti ini Souma tidak bisa digoyahkan… ya sudahlah
lagipula aku juga tidak rugi apapun.
“Oke oke! Sebentar,”
kalau disuruh seperti ini aku jadi gugup apalagi dia tidak berhenti menatapku.
Aku menarik nafas dan perlahan-lahan aku menyiapkan diriku.
“Sou… ma…?” sekilas
aku melihat perubahan raut wajahnya.
“Lagi..” bisiknya.
Tangannya masih belum berpindah namun kali ini dia mengusap-usap bibirku. Jadi
tambah gugup >////<
“Souma..”
Kali ini ia semakin mendekat.
“Lebih keras… Mana”
jarak diantara kami semakin dekat.
“Sou- Mmph??”
Kemudian kedua bibir
kami bertemu. Ketika berusaha untuk melepaskan diri, ia justru semakin
mengeratkan pelukannya. Ciumannya cukup lama dan berakhir dengan jilatan Souma
ke bibirku. Rasanya darah semua naik ke kepala saking malunya.
“Rasanya manis
sekali.” Katanya sambil menjilat bibirnya sendiri.
Dan keesokan hari
Souma pergi ke kantor dengan plester di wajahnya.
….
Akhirnya aku bisa
membeli kamera yang selama ini kuinginkan! (sebenarnya dengan bantuan Souma)
Karena ingin mencoba kamera dan saat ini sedang musim panas, keluarga kami yang
notabene sangat dekat akhirnya memutuskan untuk berlibur bersama ke pantai di daerah
Hokkaido. Kedua orang tua kami, Hajime-niichan (kakakku), Yuuka & Kyouya
(adik kembar Souma) lalu kami berdua berangkat dengan shinkansen dan dilanjutkan dengan mobil yang disewa oleh Souma
sejak jauh-jauh hari. Karena Souma dan Hajime-niichan yang bergantian menyupir,
aku harus menemani mereka agar tidak mengantuk. Sebagai gantinya aku harus
bersabar menjadi objek kejahilan mereka.
Hajime-niichan umurnya
lebih tua 2 tahun dari Souma (Hajime-niichan umur 29 & Souma umur 27).
Sementara aku berbeda 7 tahun dari Souma. Ya intinya aku masih mahasiswa
sementara Souma sudah bekerja karena itu aku sedikit kaget kenapa Souma yang
dulu sering menganggapku anak kecil dan menjahiliku malah sebenarnya miliki
perasaan khusus padaku. Sebenarnya dia mengungkapkan perasaannya padaku saat
aku berulang tahun yang ke 17 tahun. Namun dia mengatakan padaku ia akan
menunggu sampai berumur 20 tahun baru dia akan menagih jawabannya (ya meskipun
dia mengatakan seperti itu terkadang dia melakukan sekuhara). Ini sudah 3 bulan sejak hari ulang tahunku yang ke 20 dan
dia masih belum mengatakan apapun.
“Hei, jangan melamun
dong!” teriak Hajime-niichan.
“Ma-maaf niichan! Tadi
kita sedang bicara apa ya?”
Melihat reaksiku
Hajime-nii menghela nafas dan mengacak-acak rambutku.
“Ingat ya, kamu ini
sedang duduk di kursi paling depan yang artinya kamu navigator/penghibur
supir/pelayan jadi jangan mengabaikan supir/mastermu dong!” Niichan masih saja
protes dan apa itu maksudnya penghibur supir, pelayan dan master? Enak saja…
“Iya iya maaf, jadi
apa yang tadi kita bicarakan? Umm… tentang Saaya-san ya?” kataku mencoba
menerka topik apa yang kira-kira dibicarakan Niichan.
“Nah itu kamu tahu. Oh
iya kemarin aku bertemu dengan Saaya dan dia………” mulai deh Saaya Episode-nya
Niichan. Saaya-san adalah crush-nya
Niichan. Sudah sejak lama Niichan suka padanya dan masih belum sempat (atau
bilang saja ia masih belum berani) mengungkapkan perasaannya pada Saaya-san.
Terkadang Niichan meminta pendapatku atau Souma segala hal tentang Saaya-san
tapi dia terlalu merepotkan. Diberi saran malah justru ditolaknya. Apa maunya…
Sementara yang lain
sekarang sedang tidur. Souma lah yang terlihat paling lelah. Di tempat kerjanya
Souma termasuk karyawan yang berbakat jadi dia sering diberikan tugas dan
kepercayaan tentunya dengan imbalan kenaikan pangkat yang cenderung cepat. Tapi
karena itu Souma jadi jarang memiliki waktu untuk dirinya bahkan istirahat saja
tidak bisa. Beberapa minggu kemarin demi mengosongkan waktu untuk 5 hari
liburan ini, ia hampir sering lembur sampai malam. Meskipun sudah tidak serumah
lagi dengan orang tuanya (dia memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan
kantornya), tapi aku yang sering dimintai tolong untuk mengantarkan makanan ke
apartemennya jadi tahu kondisinya akhir-akhir ini (aku punya kunci
apartemennya). Belum lagi sekarang harus bergantian menyupir dengan Hajime-nii.
Semoga ia bisa benar-benar beristirahat kali ini.
Waktu berlalu,
akhirnya kami sampai di penginapan. Setelah meletakkan barang-barang, kami
memutuskan untuk langsung bermain di pantai karena jam masih menunjukkan pukul
3 dan waktunya cukup untuk bermain sampai matahari terbenam. Aku segera
mengganti pakaianku dengan one piece sailor selutut yang di dalamnya sudah
kurangkap dengan bikini berwarna putih dan biru serta membawa kamera baru dan
topi jerami yang kubeli sebelum perjalanan ini. Kami berkumpul di depan tempat
masuk pantai.
“One piece Mana-nee
cantik sekali, dimana belinya kak? Aku juga ingin yang seperti itu,” tanya
Yuuka.
Aku tersenyum pada
Yuuka dan berkata,
“Bagaimana jika pulang
nanti kita belanja baju bersama?” tawarku. Gadis berumur 16 tahun itu terlihat
sangat senang dengan tawaranku dan mengangguk dengan riang.
“Iya, aku mau! Asyik! Girls time sama Mana-nee!” gadis itu
berlari menghampiri kembarannya dan sepertinya ia sedang pamer pada
kembarannya.
Karena aku tidak punya
adik, Yuuka dan Kyouya sudah kuanggap adik sendiri dan kami bertiga cukup dekat
karena jarak umur kami yang tidak terlalu jauh. Mereka berdua manja padaku, tentunya
ini disebabkan oleh Souma yang sering menjahili mereka (dengan dalih itu adalah
bentuk rasa sayangnya pada si kembar). Namun semakin bertambahnya usia, mereka
mulai terbuka dengan Souma terutama Kyouya (mungkin karena sesama laki-laki).
Tiba-tiba ada yang
menepuk kepalaku…. ternyata Souma.
“Ayo sini,” Dia
menarikku menjauhi tempat awal kami berkumpul.
“Mau kemana sih?”
Tanyaku padanya. Tapi Souma tidak menjawab. Ia terus menarikku hingga kami
sampai ke bagian pantai yang sedikit sepi. Setelah sampai dilepasnya tanganku namun
tangannya berpindah tempat ke pinggangku.
“Menjauh dari mereka
tentu saja. Lagipula hari ini kamu cantik sekali, aku ingin memonopolimu
seharian,” dia memberikan jeda dan berkata lagi,
“Hmm.. lebih enak
begini. Di depan orang tua kita tidak bisa seperti ini karena kamu pasti tidak
mau ditanyai yang macam-macam oleh mereka kan?” Katanya.
Aku tersipu malu.
Kuanggukkan kepalaku tanda setuju dengan perkataannya. Kemudian kamera yang
menggantung dileherku mulai kucoba dengan jepretan singkat ke arah laut.
Melihat antusiasku mencoba kameranya, Souma mengajakku ke sebuah spot yang
banyak batu karangnya untuk memfoto binatang kecil yang hidup disitu. Wah
banyak sekali! Ada kepiting kecil, kerang, ikan kecil, dan lain-lain. Aku tidak
bisa berhenti menekan tombol shutternya. Diam-diam Souma berjalan menjauh
dariku menuju ke arah pantai. Dia terlihat menikmati angin yang berhembus
dengan tenang ini. Melihat ekspresinya yang seperti itu secara tidak sadar
kuarahkan kameraku padanya dan menangkap momen itu di dalam kameraku.
‘Bagus sekali,’
pikirku.
Kami berdua disana
hingga matahari terbenam. Entah sudah berapa foto Souma dengan berbagai
ekspresi yang kudapat. Aku puas dengan hasil yang kudapat (aku juga sempat
berfoto saat matahari terbenam) dan kami memutuskan untuk kembali ke
penginapan. Malam harinya kami semua pergi ke festival yang ada di dekat
penginapan. Para perempuan mengenakan yukata sementara para laki-laki
menggunakan baju biasa.
“Yukatanya cocok
denganmu,” bisik Souma padaku.
“Te-terima kasih,”
jawabku tersipu.
Kami bermain,
bercanda, makan bersama dan melihat kembang api bersama. Setelah festival itu
berakhir, Souma mengajakku pergi ke pantai lagi.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Tidak apa-apa, aku
hanya ingin bersamamu lebih lama lagi. Selama beberapa minggu ini kita kan
tidak bisa bersama.” Jawabnya. Tangannya menggenggam tanganku dengan erat.
Kemudian tangannya yang satu lagi bergerak kearah tanganku yang tidak memegang
apa-apa. Setelah dia memegang kedua tanganku, Souma menciumnya.
“Wajahmu yang memerah
itu… sengaja ya? Supaya aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu?”
wajahnya mendekati wajahku seperti mencoba melihat dengan jelas rona kemerahan
disana.
“Apa sih kamu ini,
kalau seandainya bisa aku juga tidak mau seperti…. Ini.” Seruku sambil berusaha
menjauhi wajahnya.
“Hei, jangan alihkan
pandanganmu. Lihat aku, lihatlah mataku. Apa kamu masih meragukanku?”
Aku yang tidak bisa
menolaknya kembali memandangi matanya. Di dalamnya terdapat kehangatan yang
berbeda. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, semakin hari semakin terasa memanas.
Pandangannya yang penuh arti, seperti meneriakkan segala perasaan yang ia
rasakan padaku. Tidak tahan melihatnya, aku mencoba untuk memalingkan wajahku
namun dikembalikan lagi arah pandanganku oleh Souma yang kedua tangannya
berpindah ke pipiku. Nafasku mulai tidak beraturan. Rasanya sesak seperti semua
udara menghilang dari sekitar kami. Jantungku berdegup kencang dan keras
sekali. Kumohon jangan sampai dia mendengarnya.
Seketika aku
mendorongnya sekeras mungkin dan berlari menuju penginapan.
….
Sampai pada hari ketiga kami disana, aku masih berusaha
menghindari berdua dengan Souma. Sejak hari itu, aku menjauhinya. Entah kenapa
aku takut pada luapan perasaannya padaku. Mungkin bukan takut tapi aku bingung
jawaban apa yang harus kuberikan padanya. Aku takut melihat kedalaman
perasaannya, jika aku sudah masuk kesana apa aku bisa kembali? Ataukah aku akan
tenggelam bersamanya? Membayangkannya membuatku takut.
“Mana-nee, ayo berenang!” Kyouya memanggilku secara
tiba-tiba dan menarikku mendekati pantai. Seketika aku pun tersadar kembali.
“Se-sebentar Kyouya! Aku harus melepas baju dulu,” kataku.
Kyouya kemudian melepaskan pegangan tangannya dan membiarkanku meletakkan
bajuku di tempat barang-barang kami.
Orang tua kami berada disana menjaga barang dan berjemur
sambil bercanda riang (mereka berempat sedang tidur-tiduran di kursi tidur)
sementara Souma dibawah parasol yang berjarak sedikit dari tempat orang tua
kami sedang duduk di tikar dengan posisi memeluk sebelah kakinya. Aku yang
masih tidak berani menatapnya segera bergegas mengambil tas yang ada
disebelahnya dan memasukkan one piece yang tadi kukenakan ke dalam tas lalu
berlari menyusul Kyouya, Yuuka dan Hajime-nii. Aku merasakan pandangan Souma
yang sejak tadi tidak lepas dariku. Rasanya seperti menusukku dari belakang.
Kyouya menggandeng tanganku masuk ke dalam pantai.
Kami berempat bermain dengan riang. Bermain bola, berenang
dengan pelampung, perang air dan berbagai macam permainan lainnya. Sesekali aku
melihat kearah parasol kami, pandangan Souma masuk tertuju kearahku. Ketika
pandangan kami bertemu, secara refleks aku mengalihkan pandangan dan
melanjutkan permainan kami. Entah Hajime-nii merasa atau bagaimana ia
berpamitan pada kami dan kembali ke parasol. Sejenak kulihat Niichan dan Souma seperti
sedang membicarakan sesuatu dengan serius. Kira-kira apa yang mereka bicarakan?
Ketika waktunya makan siang, Niichan menyuruh aku dan Souma
untuk membelikan makan siang untuk kami di kedai yakisoba yang tidak jauh dari
tempat kami.
“Tapi aku-“
“Sudah ini dompetnya, aku yang traktir. Beli saja apa yang
kalian inginkan,” potong Hajime-nii. Mukanya saat menyodorkan dompetnya itu tertulis
jangan-membantah-sudah-sana-pergi-dengannya. Dengan terpaksa aku berjalan
dengan Souma ke arah kedai tersebut. Sepanjang perjalanan kesana kami berdua
terdiam. Aku berusaha menjaga jarak dengan Souma namun karena itu banyak wanita
yang mencoba mendekati Souma (ehem nanpa).
Tapi Souma yang terhenti berusaha menolak. Memang sudah sejak tadi banyak yang
mendekati Souma. Wajahnya yang tampan, tubuhnya yang berisi (tidak terlalu
kekar dan juga tidak terlalu kurus), dan tubuhnya yang tinggi tentu saja
membuat wanita lain tidak bisa diam dan mencoba mendekatinya. Seketika dadaku
terasa sakit. Apa ini? Cemburu?
Kami kembali ke parasol dan membagikan makanan serta minuman
yang sudah terbeli. Kyouya dan Hajime-nii makan dengan lahap dan cepat kemudian
segera kembali ke dalam air. Sepertinya udara yang sangat panas membuat mereka
tidak kuat. Yuuka selesai kedua, ia segera meletakkan kain yang tadi menutupi
bikininya dan menyusul kedua laki-laki itu. Sementara kedua orang tua kami yang
selesai setelahnya memutuskan untuk berjalan-jalan. Dasar baka couple. Dan
tinggal lah aku dan Souma berdua. Aku yang tegang berusaha bersandar pada tiang
parasol dan mengencangkan peganganku pada kain yang melingkari tubuhku. Souma
berada di pojok tikar sedang menghabiskan makanannya. Rasanya panas sekali,
kepalaku sedikit sakit lalu kuputuskan untuk tidur (masih dalam posisi duduk).
Ketika aku bangun yang kulihat pertama kali adalah parasol
yang memayungi. Saat aku mencoba berbalik ke sebelah kanan ada sosok orang yang
sedang tertidur disebelahku. Setelah lama memperhatikan (masih setengah sadar)
aku baru sadar kalau itu Souma. Aku dan dia sekarang posisi berhadap-hadapan
dengan posisi Souma lebih tinggi dariku (kepalaku sejajar dengan dadanya). Ia
tertidur dengan pulasnya. Raut-raut kelelahan terlihat dengan jelas di
wajahnya. ‘Dia memang lelah’ pikirku. Tiba-tiba Souma bergeser kearahku. Sekarang
aku dan Souma seperti posisi berpelukkan. Tangannya kemudian melingkar di
punggungku. Jangan-jangan dia berpikir aku ini guling?! Ketika mencoba untuk
menjauh, ia mengeratkan pelukannya.
“S-Souma” bisikku berusaha memanggilnya.
“Ssh.. diamlah. Aku harus mencharge tenagaku.”
“Ta-tapi ini tempat umum!”
“Salahmu menjauhiku kemudian menurunkan guardmu begitu saja,”
Uh.. bagaimana ini..?
“Lagipula apa itu tadi, kamu menghindariku tapi kemudian
berpegangan tangan dengan Kyouya, curang sekali.”
Eh? Dia cemburu…? Dengan adiknya sendiri…? Dasar…
“Tadi kamu juga asyik sekali berbicara dengan wanita-wanita
itu,” balasku. Yah, keceplosan…
“Heh.. cemburu?” terdengar suaranya yang terlihat senang.
“Ti-“ aku tersentak merasakan wajah Souma yang bergerak mendekati
telingaku.
“Jangan jauhi aku,” kali ini Souma membisikkan itu tepat di
telingaku.
Aku terdiam tidak bisa membalas saking malunya. Tapi kalau
terus seperti ini nanti jika mereka semua kembali, mereka akan memergoki kami.
Akhirnya aku menyerah dan berkata,
“Ha-hanya 5 menit saja ya,”
“Kalau 10 menit?” masih sempat juga nawar..
“Tidak ada tawaran lain Souma-san,” jika aku sudah memanggil
Souma dengan sebutan ‘Souma-san’ pasti dia tidak bisa menolak!
“Hmm.. baiklah.” Ia mengikuti perkataanku. Souma berusaha
mendekat lagi dan mencium kepalaku.
“Aku rindu baumu,”
….
Tibalah hari terakhir perjalanan kami. Ketika kami sudah
naik diatas shinkansen yang lainnya
segera tidur sementara aku dan Souma masih berbincang-bincang.
“Boleh aku pinjam kameramu?” tanya Souma tiba-tiba.
“Eh? Kenapa?”
“Tidak apa-apa hanya ingin lihat hasil fotomu,” seketika aku
panik, bagaimana ini? Di dalamnya banyak foto Souma yang kuambil diam-diam. Aku
segera menggelengkan kepala dengan cepat.
“Kenapa? Padahal cuma ingin lihat,”
“Pokoknya tidak boleh!”
Sepanjang perjalanan Souma berusaha meyakinkanku untuk
meminjamkan kameraku padanya. Namun aku terus bersikeras apapun yang terjadi
tidak akan meminjamkan padanya. Kudekap erat-erat kameranya dan tidak bisa
tidur takut diambil olehnya.
Sekarang hari Jumat, aku sedang mengantar makanan untuk
Souma yang hari ini katanya sedang tidak enak badan. Tubuhnya panas tapi
melarang ibunya datang karena takut merepotkan. Ketika ibunya datang padaku dan
memintaku untuk membujuk Souma, akhirnya ia mengizinkan seseorang datang
menjenguknya. Ibu Souma memutuskan mungkin akan lebih baik jika aku yang datang
karena sepertinya dia akan lebih menurut padaku. Ya anggap saja sekalian
mengurusnya. Ketika aku memasuki mansionnya terlihat sepi sekali. Mungkin
sedang istirahat di dalam kamar? Segera kuletakkan makanan di pantry dapur dan
berjalan menuju kamarnya. Ketika memasuki kamarnya aku melihat sosoknya sedang
bersandar di canopi king size bed-nya
sambil memegangi sesuatu. Aku baru sadar kalau itu kameraku! Segera aku berlari
mendekati Souma dan berusaha meraih kameraku namun dia segera menjauhkan
kameranya dariku.
“Ba-bagaimana kamu bisa dapatkan itu? Berikan padaku!” aku
bersikeras berusaha menjangkaunya. Tiba-tiba kakiku terpeleset dan aku jatuh tepat
dipangkuannya.
“Sekarang kamu berusaha ‘menyerang’ku ya?” tanyanya dengan
nada menggoda.
“Tidak! Aku hanya ingin kameraku kembali! Aku kan sudah
menyimpannya di kamar sekarang kenapa bisa di kamu?!”
“Hajime-nii yang memberikannya padaku. Aku meminta tolong
padanya dan dia dengan senang hati memberikannya padaku. Padahal aku hanya
ingin tahu bagaimana hasil fotomu tidak kusangka kamu ternyata juga memfotoku.
Apalagi sebanyak ini,” saking malunya aku tidak bisa menjawab. Aku tetap
berusaha menggapai kameranya. Tiba-tiba Souma melempar kameraku menjauh darinya
dan memegangi kedua tanganku agar aku tidak lari.
“Tapi dengan ini aku bisa tahu bagaimana sosokku dimatamu.
Hasilnya tidak mengecewakan.” Ia menarikku dan sekarang posisi kami berbalik. Souma
sekarang menindihku di kasurnya.
“Sekarang waktunya untuk jujur Mana. Apa kamu menyukaiku?
Apa kamu membalas perasaanku?”
Aku kembali terdiam. Perasaan takut itu kembali muncul,
berusaha mencekikku. Setelah selang beberapa lama, Souma membuka mulutnya,
“Katakan saja apa yang ada dipikiranmu. Aku tahu kamu pasti
sedang memikirkan sesuatu, jika kamu tidak memberitahuku aku tidak akan tahu.”
dia berusaha membuatku jujur padanya. Meskipun begitu…
“Ayo katakan!” paksanya.
“…kut…”
“Apa?”
“Aku takut. Aku takut dengan perasaanmu dan perasaanku
sendiri. Aku tidak tahu…”
Souma yang kaget hanya terdiam.
“A-aku..”
“Apa kamu tidak bisa menerima perasaanku?” tanyanya dengan
nada kecewa. Menyadari itu aku langsung menjawab.
“Bu-bukan itu tapi… ah! Aku tidak tahu, aku bingung, rasanya
campur aduk!” dengan nada meninggi aku mengatakan itu sambil menutupi wajahku.
Tangan Souma menarik tanganku yang kugunakan untuk menutupi
wajahku.
“Jangan ditutupi, aku ingin kau mengatakannya sambil
melihatku.” Wajahnya mendekatiku.
“Perasaanmu itu… aku bisa melihatnya & merasakannya.
Saking dalamnya perasaanmu aku merasa seperti akan tenggelam di dalamnya dan
tidak bisa keluar…” kataku lirih.
“Lalu?”
“A-aku merasa jika suatu hari nanti akan tiba waktunya
dimana aku harus keluar dan tidak bisa keluar… aku takut apa yang nanti akan
terjadi padaku. Membayangkan kamu tidak ada saja sudah membuatku ingin
menangis, apalagi kalau seandainya…”
Aku terdiam. Souma tidak memaksaku mengatakan lanjutannya.
Dia menungguku sampai bisa mengatakannya. Aku menarik nafas dan berusaha
melanjutkan.
“Kalau seandainya aku mengakui perasaan ini dan kamu suatu
saat tidak ada, apa yang harus kulakukan…?” aku takut jika sudah merasakan
rasanya berada diatas awan, aku tidak akan tahu apa yang harus kulakukan jika
dijatuhkan dari sana. Rasanya sesak, aku ingin menangis…
Souma tersenyum,
“Jadi sebenarnya kamu menyukaiku ya? Haha..” aku
mengernyitkan dahi.
“Kenapa tertawa?” tanyaku sambil berusaha mengusap air
mataku.
“Aaah! Kamu memang tidak ada duanya,” katanya sambil
memelukku dengan erat. Aku yang masih kebingungan tidak paham dengan apa yang
dikatakannya.
“Melihatmu yang seperti ini sudah membuatku puas. Dasar kamu
ini, kata-katamu tadi itu seperti pengakuan terbesar. Kamu seperti mengatakan
‘aku tidak bisa hidup tanpamu’. Itu bahkan lebih baik dari saat aku menyatakan
perasaanku!” katanya riang.
Masih berusaha menahan tangisan, aku mendekati bahunya untuk
bersembunyi.
“Untuk apa kamu menakutkan hal yang belum terjadi? Kamu ini
tidak berubah ya… Selalu berputar-putar, jadi kamu meragukan perasaanku? Kamu
kira aku akan meninggalkanmu begitu saja? Aku tidak akan rela menunggu
seseorang selama ini hanya untuk meninggalkannya kemudian. Kamu tahu kan aku
seperti apa?” melihatku tidak merespon kemudian ia melanjutkan lagi,
“Hahah intinya aku akan mencintaimu sampai kapan pun, bodoh.
Kamu kira siapa lagi yang kuat menghadapi sisi tsunderemu?” aku memukuli punggungnya dengan keras dan dia
berteriak ‘sakit sakit’.
Seketika keraguanku menghilang. Semua perasaan gelap yang
berusaha menggerogotiku seperti disinari cahaya terang dan menghilang. Aku
tersenyum dan memeluknya dengan erat.
“Jadi, kamu mau menjadi pacarku? Atau aku harus
membuktikannya lagi?”
Aku mulai tertawa kecil.
“Hihihi.. jika kamu membelikan aku strawberry parfait dan
blueberry cheesecake, aku mungkin mau jadi pacarmu,”
“Cuma itu saja? Lagipula apa maksudnya ‘mungkin’? Kalau
begitu ayo beli seka- uhuk uhuk…” Souma terbatuk-batuk. Tubuhnya mulai melemas
dan ia semakin terasa berat.
“Iya iya nanti saja perginya istirahat dulu. Sudah makan
belum?” tanyaku.
“Hmm.. belum…” dia mengeratkan lagi pelukannya dan
menenggelamkan wajahnya dipundakku.
“Aku bawa bubur dari ibumu, ayo makan dan minum obatnya. Ah
iya! Ganti baju juga, bajumu basah.”
“Baiklah, tapi kamu disini sampai senin pagi. Berangkat ke
kampusnya dari sini saja.” katanya sambil menciumi leherku.
“Ah! Hentikan! Ayo minggir.”
“Tidak mau.. kalau kamu berjanji akan disini sampai senin
baru aku akan minggir,” sekarang dia berlagak seperti anak manja.
“Anggap saja ciuman ini sebagai ganti aku tidak bisa mencium
bibirmu karena takut menularimu,”
Aku menghela nafas,
“Baiklah aku disini sampai senin tapi kalau kamu melakukan
hal yang aneh-aneh aku pulang. Mengerti?”
“Siap bos!” jawabnya lantang yang kemudian disusul dengan
batuknya.
Kami berdua tertawa lepas.
….
“Saa ohairinasai…”
.
.
.
.
.
.
.
‘Haite mo ii no ka na?’
Tangannya menjulur kearahku mengajakku untuk masuk ke dalam.
Aku yang ragu mencoba untuk melihat ke dalam namun yang terlihat hanya sosoknya
yang sedang tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Namun apa yang ada di
dalam? Apakah aku akan baik-baik saja jika masuk ke dalam? Dia yang mengenakan
baju kemeja putih dan jeans biru itu memperhatikanku seakan menungguku berjalan
kearahnya.
Perlahan-lahan aku maju mendekati pintu itu dengan langkah
tidak pasti. One piece selututku yang berwarna putih terayun-ayun karena
pergerakanku mendekatinya. Keadaan tempat itu benar-benar putih namun dibalik
pintu itu gelap sekali. Aku takut. Kulihat kearahnya, raut wajahnya seakan
mengatakan ‘Kau akan baik-baik saja, aku akan disini menjagamu’ saat itu juga
rasa takutku pun menghilang sedikit demi sedikit. Ketika sudah dekat dengannya,
perlahan-lahan kuletakkan tanganku diatas tangannya yang terulur. Ia pun
tersenyum dan menarikku masuk.
Aku akan menjebakmu di
dalam diriku,
Dan aku ingin
memanjakanmu.
Akan kuberikan padamu
waktu yang sangat sangat manis dan tanpa batas.
Karena itu… ciumlah
aku.
Dia menarikku kepelukannya dan mendekatkan wajahnya padaku…
Kemudian pintu itu
tertutup.
Pintu yang tidak akan
pernah terbuka lagi untuk siapapun, pintu yang akan mengunciku di dalam untuk
selamanya. Ya, pintu ini adalah hatinya.
Kalau ada pertanyaan silahkan di komen! Oh dan aku lagi dalam pengerjaan buat side-nya Souma!
Komentar
Posting Komentar